Minggu, 11 November 2012

Dilemma


“Kak.. bagi seribuannya kak…”
Begitu kata salah seorang anak kecil bertubuh kurus meminta sedikit sedekah dariku. Dan malangnya, aku hanya bisa menjawab dengan gelengan disertai senyum samar tipis yang kemudian disambut pahit oleh anak kecil tersebut.
Dalam hati, miris sekali rasanya melihat betapa menyedihkan nasib negeriku, Indonesia. Anak-anak kecil yang entah dapat ilmu darimana, meminta-minta dengan cara yang memalukan di pinggiran jalan dan tempat-tempat umum.
Seketika itu juga, hatiku tergerak untuk berdoa padaNya, memohon;
“Ya Allah, merdekakanlah seluruh rakyat di negeriku yang tercinta ini.. Jangan ada lagi peminta-minta seperti ini, peliharalah kami semua dalam naungan kekayaan hati dan materi, karuniai kami pemimpin yang amanah dalam menjadi khalifah di bumi ini, lindungi kami setiap waktu, jaga kami semua dalam kasih sayangMu dimanapun ya Rabb…”
Dalam diam, sambil menunggu sang kakak datang dari Bekasi (saat itu aku sedang ada di Stasiun Bogor) tanpa sadar aku menitikkan air mata. Kalau bahasa gaulnya mungkin nyesek, sekaligus penasaran. Bertanya-tanya dalam hati, siapa yang mengajari anak-anak kecil ini ngemis?
Tidak hanya sekali-dua ini aku lihat anak-anak kecil (terlebih sejak saya hijrah ke kota besar) berlalu lalang di pagi hingga bahkan malam hari untuk mencari nafkah dengan cara yang tidak lazim itu. Mereka berlarian kesana-kemari mengantongi beberapa lembar dan receh uang hasil ngamen atau meminta-minta di jalan (bahkan masih berseragam sekolah). Ingin sekali rasanya memanggil mereka, berdialog atau kalau memungkinkan memediasi mereka untuk tidak lagi melakukan hal-hal demikian. Tetapi yang ada di bayanganku adalah kondisi seperti ini.
Kalau dipanggil, mereka pasti akan mengira akan diberi sedekah olehku.
Kalau ditanya, “kenapa ngemis?” pasti jawabannya adalah karena mereka BUTUH.
Kalau dilarang, pasti jawabannya sama “lalu kami mau dapat makan darimana?”
Sedangkan di sisi lain, mereka mengumpulkan uang itu pada Ayah-Ibu mereka. Kemudian parahnya, Ayah-Ibu mereka menggunakan uang itu untuk membeli rokok, berjudi, membeli pulsa, dan lain-lain hal yang tidak berguna dibandingkan menyekolahkan mereka!
Astaghfirullahaladzim..
Dulu, jujur, aku sering beberapa kali memberi mereka sedikit uang. Alasannya jelas, karena iba. Tetapi lama kelamaan, ketika kakakkku melihat aku mengasihani mereka, kakakku dengan logis menjawab “Jangan memberi pengemis itu uang, terlebih kalau pengemisnya anak-anak. Mereka nanti jadi terbiasa dan ketergantungan untuk mencari nafkah dengan cara itu. Gampang banget, tinggal ngathung udah dapet duit…”
Ya, jawaban kakakku ada benarnya. Tidak baik membiasakan mereka meminta-minta seperti itu.
Tapi….
Ya Allah, sungguh dilemma yang berat. Ingin sekali rasanya menagih langsung pada para pemimpin itu pasal 34 ayat 1 UUD 1945, 

"Fakir miskin dan anak-anakyang terlantar dipelihara oleh negara."

serta mengingatkan tentang QS Al Baqarah 30.

"Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka : Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Tidakkah mereka takut diminta pertanggungjawaban akan anak-anak yang mengemis tadi nanti di akhirat? Wallaahu alam. Biarkan Allah Yang Mahaadil yang menjadi hakim bagi mereka semua kelak…