Saya nggak pernah tahu apa tujuan
Riri Riza dan Mira Lesmana membuat film Gie. Tetapi di prolog film Gie tertulis
bahwa film tersebut hanya sebuah interpretasi dari perjalanan hidup seorang Soe
Hok Gie, seorang pemuda keturunan CIna yang hidup di masa pergolakan dan
merekamnya dalam catatan harian.
Niatnya, saya cuma iseng ingin
nonton film Gie (untuk yang entah ke berapa kalinya) karena hari ini 17
Agustus. Saya sudah mahasiswa, jadi tidak ikut lomba, upacara, atau selebrasi
hari ulang tahun Indonesia lainnya. Lebih-lebih, saya sedang berlibur di tempat
saudara saya sehingga tak banyak yang saya lakukan di hari libur nasional ini.
Di sini saya malu mau bicara
tentang nasionalisme. Saya malu sama sosok Gie yang walaupun bukan aseli orang
Indonesia tetapi mencurahkan seluruh cinta di hidupnya untuk Indonesia hingga
akhir hayatnya. Dah say amah apa atuh, umur saya sudah 19 tahun dan saya merasa
belum melakukan apapun untuk negara yang katanya sangat saya cintai ini.
Jadi , sambil berpikir tentang
kontribusi apa yang sudah saya lakukan untuk Indonesia, izinkan saya bicara tentang
idealisme saja. Saya sering menilai diri saya sendiri idealis. Menjadi idealis
bukan sebuah kelebihan atau kekurangan pribadi seseorang (kata kakak saya, dia
psikolog) karena idealisme orang berbeda-beda. Tetapi, sejauh ini saya berusaha
untuk menjadi idealis atas dasar islam meskipun banyak kekurangan di sana sini.
Saya tahu, Allah Maha Melihat dan setiap waktu di kanan kiri saya ada malaikat
yang mencatat semua amal dan dosa saya. Jadi saya selalu mendoktrin diri
sendiri untuk sebisa mungkin memegang ideologi islam kapan pun dan dimana pun
saya berada.