Minggu, 16 Agustus 2015

Tentang Gie dan Saya



Saya nggak pernah tahu apa tujuan Riri Riza dan Mira Lesmana membuat film Gie. Tetapi di prolog film Gie tertulis bahwa film tersebut hanya sebuah interpretasi dari perjalanan hidup seorang Soe Hok Gie, seorang pemuda keturunan CIna yang hidup di masa pergolakan dan merekamnya dalam catatan harian.
Niatnya, saya cuma iseng ingin nonton film Gie (untuk yang entah ke berapa kalinya) karena hari ini 17 Agustus. Saya sudah mahasiswa, jadi tidak ikut lomba, upacara, atau selebrasi hari ulang tahun Indonesia lainnya. Lebih-lebih, saya sedang berlibur di tempat saudara saya sehingga tak banyak yang saya lakukan di hari libur nasional ini.
Di sini saya malu mau bicara tentang nasionalisme. Saya malu sama sosok Gie yang walaupun bukan aseli orang Indonesia tetapi mencurahkan seluruh cinta di hidupnya untuk Indonesia hingga akhir hayatnya. Dah say amah apa atuh, umur saya sudah 19 tahun dan saya merasa belum melakukan apapun untuk negara yang katanya sangat saya cintai ini.
Jadi , sambil berpikir tentang kontribusi apa yang sudah saya lakukan untuk Indonesia, izinkan saya bicara tentang idealisme saja. Saya sering menilai diri saya sendiri idealis. Menjadi idealis bukan sebuah kelebihan atau kekurangan pribadi seseorang (kata kakak saya, dia psikolog) karena idealisme orang berbeda-beda. Tetapi, sejauh ini saya berusaha untuk menjadi idealis atas dasar islam meskipun banyak kekurangan di sana sini. Saya tahu, Allah Maha Melihat dan setiap waktu di kanan kiri saya ada malaikat yang mencatat semua amal dan dosa saya. Jadi saya selalu mendoktrin diri sendiri untuk sebisa mungkin memegang ideologi islam kapan pun dan dimana pun saya berada.