Senin, 14 Mei 2012

Bahagia itu Sederhana



Ya, bahagia itu memang sederhana. Setidaknya bagi kita, yang bisa memandang segala hikmah luar biasa di balik kejamnya dunia. Setidaknya bagi kita, yang mulai terbiasa dengan tatapan sengit penguasa. Setidaknya bagi kita, yang hari ini tersenyum syukur atas semua nikmat yang diberikan-Nya secara cuma-cuma.
Well, hanya ingin mengulas beberapa hal kecil yang belakangan ini terkesan banget dalam hidupku. Tentang betapa harus dan layaknya hidup ini disyukuri setiap geraknya, tentang betapa nggak pantasnya kita mengeluh setiap Tuhan ngasih cobaan barang seberat apapun. Di hari kemudian, pasti Beliau bakal ngasih balasan yang nggak terkira kalo kita udah mampu ngelewatin ujian-ujian itu dengan sabar dan tawakal.
Bahagia itu sederhana, yap. Bener banget.
Nggak butuh duit banyak buat ngerasain seberapa enaknya es teler, kan?
Bagiku, kenikmatan saat kamu nyobain es teler, memasukkan potongan-potongan buah yang disiram sirup kokopandan dan susu itu ‘wah’ banget. Apalagi buat kita yang sehat dan lagi nggak ada pantangan buat minum yang dingin-dingin, alhamdulillah..

Nggak perlu punya papa seorang dokter kan, buat makan bareng dan ngabisin waktu di jalan sambil ketawa-ketawa?
Bapakkku cuma seorang kuli tulis sebuah surat kabar yang biasa-biasa aja, nggak terkenal-terkenal banget. Gaji Bapak bisa dibilang ngepress, alias pas-pasan. Penampilannya pun simpel, nggak muluk-muluk. Kalo nggak ada acara resmi, Bapak nggak akan pake kemeja dan parfum. Wajahnya nggak bersih kaya papa-papanya teman-temanku, mungkin. Dan Bapak kerja di lapangan, bukan di ruangan pribadi. Bawaannya yang terpenting hanya kamera dan ponsel, selain itu, ya nyawa aja.
Mau gimanapun kurangnya Bapakku di mata kalian, Beliau tetap seseorang yang sangat berarti di mataku. Bapak terhebat diantara seluruh Bapak di dunia ini. Bapak yang sangat kuat, nggak cuma fisik tapi juga mental dan hatinya. Bapakku, bagiku tetap nomor satu!
Barusan pulang sekolah aku dijemput sama Bapak. Kita mampir makan di warung bakso dulu sebentar, dan setelah itu pulang naik motor. Di jalan, sambil menghirup asap bus dan mobil yang melintas di sekitar, aku ketawa menanggapi candaan yang suka tiba-tiba Bapak lontarkan di tengah kesunyian kami. Ya, aku sama Bapak emang nggak dekat-dekat banget, tapi aku tetap bersyukur masih sering dikasih kesempatan berdua buat menghabiskan waktu yang berharga ini cuma berdua sama beliau.
Balik ke topik awal, bahagia itu sederhana.
Nggak perlu punya mobil mewah yang lebih dari satu biji di garasi kan, buat menikmati asiknya perjalanan bareng keluarga?
Mobil Bapak itu sedan biru lawas yang diciptakan sekitar 26 tahun lalu bernama toyota corolla DX. Lampu bagian belakang sebagian udah pecah, nggak tau nabrak apa. Malah beberapa hari yang lalu, spion kanan mobil Bapak ditelan bus yang nyalip mobil beliau. Hehehe, parah kan? Oh iya, yang lebih keren lagi, mobil Bapak itu punya obat rutin tiap mogok. Yaitu jeng jeng... bodrex! Entahlah, aku juga kurang paham soal obat yang dimasukin ke mesin tiap mobil ini bermasalah.
Yang unik sih, bukan seberapa jelek dan buruknya mobil Bapak. Tapi isi dalamnya dan mesinnya yang masih mau jalan walaupun beberapa kali kota kami dilanda banjir yang cukup wow. Gini-gini juga, mobil bapak masih jago nyalip mobil lain, lhoh!
Dan satu hal yang terpenting, selama naik mobil tua itu, kami sekeluarga masih tetap bisa bercanda dan menikmati perjalanan. Yang jadi andalan Bapak, tiap ada mobil lain yang lebih bagus mendekat, beliau pasti bilang “Hey siapapun berani mendekat ntar tetanus lho nyentuh mobil kita” hahaha. Kalo Ibu, “montor-montor cilik sing nunggang mblenek”. Lucu, kan? Bahagia itu nggak harus naik mobil ber-cc tinggi dan berfasilitas oke, kok. Naik mobil jadul pun, kalo suasana yang tercipta di dalamnya menyenangkan, pasti hepi!
Masih menyoroti kalimat pertamaku, bahagia itu sederhana.
Nggak mesti ngabisin duit buat jajan di restoran kan, kalo mau makan bareng teman-teman atau keluarga?
Anak muda jaman sekarang, pulang sekolah bukannya buru-buru pulang tapi malah nongkrong atau nyari tempat makan sama teman-teman di luar rumah. Bahkan kalo aku liat dari pengamatanku sendiri ke beberapa anak di sekolahku, hampir setiap hari mereka makan siang di luar rumah.
Ckckck, aku heran. Ada apa sih, sama rumah mereka?
Emangnya Ibu kalian pada nggak masak, apa? Mestinya iya, kan? Kalo iya, apa masakan Ibu kalian kurang enak?
Buatku sih, mau makan apapun, asalkan barengan sama keluarga (walaupun cuma sama Ibu) rasanya bakalan enak, kok. Percaya, deh.
Karena apa?
Karena banyak banget di luar sana yang pulang-pulang kesepian karena udah nggak punya Ibu lagi. Ada yang Ibunya udah nggak ada, ada yang Ibunya sibuk kerja dan kelewat cuek nggak nyuruh pembantu masak, ada yang Ibunya pergi kelayapan nggak mau tau soal keadaan anaknya, dan lain-lain.
Selagi Ibu kalian masih pada ada dan sempat ngurusin keperluan kalian tiap pulang sekolah, kenapa nggak dihargain? Kenapa harus ngabisin duit buat jajan di luar, sih?
Aku barusan juga kok menyadari hal ini, baru kemarin malah. Pas pulang sekolah kelimpungan nggak ada Ibu yang biasa masak, aku langsung bingung mesti makan apa. Langsung sadar, seberapa aku menunggu-nunggu masakan yang Ibu siapin setiap hari, segini ngarepin aku sama kehadiran Ibu yang selalu siap menyambut kepulanganku dan Bapak.
Ibuku emang nggak kerja, alias ibu rumah tangga. Tapi bagiku, setiap ibu rumah tangga, nggak ada yang bisa disebut “ibu rumah tangga biasa”. JANGAN SEKALI-SEKALI!
Jasa mereka terlalu besar buat disebut ‘biasa’, keringat yang menetes di baju rumah mereka bisa lebih banyak daripada yang ada di kerah papa-papa kalian!
Yang terakhir, tentang bahagia itu sederhana yang bisa kita simpulkan kali ini adalah nggak perlu muluk-muluk buat menciptakan sebuah kebahagiaan di hidup.
Nggak perlu jadi anak pejabat, nggak perlu lahir di keluarga terpandang yang harta kekayaannya melebihi batas normal, dan nggak perlu banyak sarana-prasarana ini itu buat merasakan dan menyadari betapa indahnya dunia ini, betapa harus kita bersyukur atas semua pemberian dari Tuhan.
Kebahagiaan itu bukan sesuatu yang diberikan orang lain, tapi sesuatu yang kita ciptakan sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar