Lama-lama saya pengin pindah kost ke perpustakaan saja.
Hahaha! Keinginan yang konyol, bukan?
Walaupun tak semegah dan seapik perpustakaan nomor satu di Asia Tenggara (red: perpus UI), perpustakaan IPB selalu menjadi tempat favorit saya. Tidak, di perpus IPB tidak ada JCo-nya, letaknya tidak di atas danau (walaupun dekat dengan danau), dan pendingin ruangannya pun tidak begitu sejuk. Namun entah bagaimana, saya selalu merasa nyaman dan betah di sini. Buktinya saya sekarang sedang numpang nulis di sini, memanfaatkan fasilitas yang ada seoptimal mungkin. Hehehe :)
Oke, kita straight to the point aja. Tangan saya sudah gatal sejak kemarin pulang fieldtrip dari Indramayu. Banyak hal yang baru saya sadari setelah saya melihat langsung kenyataan yang ada di lapangan. And.. here is it!
Hari minggu kemarin saya dan teman-teman fakultas pergi ke TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Karangsong, Indramayu, Jawa Barat. Fieldtrip yang diadakan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan ini diadakan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Iktiologi semester ini. Dan jujur, saya sangat antusias karena ini kali pertama saya praktek lapang untuk mayor yang mungkin akan saya perdalam selama 3 tahun ke depan.
Tugas pertama yang saya terima sesampainya tiba di sana adalah mewawancarai nelayan. Saya dengan 2 orang teman pergi ke pinggiran pantai yang penuh dengan kapal-kapal para nelayan yang baru mendarat (bukan pelabuhan ya). Di sana, saya menemui seorang nelayan sebut saja namanya Pak Zahid dan Pak Muh (saya lupa nama beliau, hehe). Mulanya kami menanyakan hal-hal yang sejak awal sudah menjadi mandat dari asisten praktikum untuk dijadikan bahan laporan. Obrolan pun terus mengalir dengan santai, beberapa kali Pak Zahid menunjukkan bagian-bagian kapal beliau sementara Pak Muh sedang menjahit pukat (jaring) yang jebol.
Melihat kondisi nelayan di Indonesia mungkin sama seperti yang ada di benak kita selama ini; serba kekurangan. Ya, memang begitulah keadaannya. Tidak perlu kaget karena memang armada perikanan di Indonesia belum sebaik dan semodern di luar negeri. Dalam hati saya miris, melihat langsung keluarga para nelayan yang hidup kurang layak seperti itu. Bahkan anak-anak mereka pun tidak sekolah dan memilih untuk ikut berlabuh atau malah justru hanya bantu-bantu pekerjaan rumah saja.
Dari awal, I'm curious about something; peran pemerintah melihat kondisi para nelayan di sana. Kenapa? Karena saya lihat TPI Karangsong adalah salah satu TPI terbesar dengan hasil ikan yang berpotensi tinggi untuk meningkatkan pendapatan nasional.
Akhirnya saya bertanya pada Pak Zahid "Bapak, kalau campur tangan pemerintah sendiri sejauh ini seperti apa? Apa pernah ada survei dari dinas setempat?"
Pak Zahid menjawab, "Jarang, neng. Paling pemerintah kasih bantuan kapal tetapi itu semua nggak ada gunanya. Kapal yang dari pemerintah itu yang ini neng (sambil menunjuk salah satu kapal), namanya kapal Inka Mina. Itu bantuan dari pemerintah, tetapi nggak sesuai dengan standar kami (nelayan Indramayu). Kondisi kapalnya bagus, sih. Cuma udah nggak cocok lagi dipakai sama kami karena jaringnya pendek, hanya 3 mil padahal kami butuhnya minimal 6 mil. Terus bentuk dan kualitas mesin juga nggak sebaik kalau nelayan sini yang buat. Gampang rusak, neng kalau kena badai atau ombak besar sedikit saja. Padahal kami pergi kan beberapa hari, jadi malah bahaya."
Saya pun hanya mengangguk mengakhiri wawancara kami siang itu. Batin saya bertanya, bagaimana bisa maju perikanannya kalau pemerintah kaya gini terus? Dikemanakan uang negara bila hanya untuk memberi jaring lebih panjang sedikit saja pemerintah TIDAK MAMPU?? Masih layakkah kita disebut negara maritim jika potensi kelautan sebesar ini dihambat oleh permasalahan semacam ini?
Dalam perjalanan pulang saya terus merenungkan jawaban-jawaban pertanyaan tersebut sambil mengingat obrolan singkat saya dengan dua nelayan yang luar biasa tersebut. Di sisi kanan kiri dimana bus kami melaju, terbentang luas laut utara Jawa yang menggambarkan betapa besar anugerah-Nya yang seharusnya dapat kita manfaatkan dan kita jaga untuk kemaslahatan seluruh makhluk hidup. Selain itu, tampak pula hamparan sawah berhektar-hektar yang menguning. Merepresentasikan indahnya kehidupan apabila kemakmuran rakyat Indonesia dapat terpenuhi semua dengan butir-butir padi itu kelak di kemudian hari. Satu kalimat mereka yang membuat saya trenyuh adalah ketika saya tanyakan kapan waktu mereka berlayar, apakah mempertimbangkan cuaca dan musim atau tidak,
"Yahh.. kami mah, kapan saja berangkat, neng. Namanya juga cari duit, mau hujan atau badai kaya gimanapun kami berangkat." jawab Pak Muh.
Di sini saya bingung harus berkata 'subhanallah' atau 'astaghfirullah' karena pada satu sisi saya kagum pada perjuangan titisan nenek moyang ini, namun di sisi lain saya prihatin dengan kondisi mereka yang kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak.
Dan... mungkin saya akhiri sekian curhatan dan cerita yang dapat saya bagi dari pengalam fieldtrip kemarin. Saat ini sebagai mahasiswa yang di pundaknya tergantung harapan sejuta umat manusia, saya sedang berpikir dan berusaha menuntut ilmu sebaik-baiknya untuk perkembangan dan kemajuan Indonesia di masa depan nanti. Harapan saya bagi semua pembaca, tolong buka mata dan telinga kita semua. Ternyata masih banyak yang perlu kita lihat dan dengar tentang kenyataan di sekitar kita yang selama ini tersembunyi di balik problema kehidupan yang semakin merumit. Banyak yang suaranya ingin didengar dan diperjuangkan oleh kita sebagai kaum terpelajar. Sadari bahwa kita sebagai generasi muda pelurus bangsa dapat diandalkan oleh seluruh lapisan masyarakat di bumi pertiwi ini. Maka dari itu, lihat-dengar-dan bergeraklah untuk Indonesia yang lebih baik!
See ya all ;)
nb: kapan-kapan saya lampirkan foto saya dengan Pak Zahid dan Pak Muh, mereka yang berjasa menginspirasi saya lewat mimpi-mimpi hebat yang ingin saya wujudkan setelah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar