Minggu, 09 November 2014

Indonesia yang Tidak Indonesiawi

Mengamati Krisis Budaya Remaja 



Belakangan ini saya rajin mengikuti acara seminar yang diselenggarakan di fakultas. Tema kedua seminar terakhir yang saya ikuti cukup mirip yakni tentang kepemudaan, dan kebetulan di dua seminar tersebut diputar satu video yang sama yakni video ‘Menjadi Indonesia’.
Judul videonya menarik, setidaknya bagi saya. Secara garis besar, dalam video ini beberapa tokoh yang dituakan di Indonesia berpendapat tentang bagaimana kondisi Indonesia saat ini. Ya, Indonesia kita tercinta..
yang tidak semua pemimpinnya memimpin..
yang kewalahan hanya karena masalah banjir dan macet...
yang warganya lebih suka musik luar negeri daripada musik dalam negeri...
dimana korupsi seakan-akan sudah menjadi hal yang umum..
dan beragam permasalahan rumit lainnya yang semakin meyakinkan mindset kita bahwa Indonesia masih begini-begini aja. Njlimet. Ribet. Srimpet.

Setelah menonton video ini, saya jadi makin sadar kalau bangsa Indonesia sudah kehilangan jati dirinya –selanjutnya akan saya sebut dengan istilah tidak Indonesiawi- tampaknya saya pun demikian. Saya mengakui bahwa saya menyukai lagu-lagu korea, saya menikmati drama dan anime jepang. Saya juga sedikit banyak mengerti bahasa mereka, tetapi saya bahkan tidak mahir menjawab saat Simbah telepon dengan bahasa krama jawa. Sungguh terlalu. Diakui atau tidak diakui, krisis budaya ini sudah umum terjadi dan dianggap sebagai hal yang wajar. Alasannya karena musik Indonesia semakin kesini semakin alay dan tidak bermutu, film dan sinetron apalagi. Cerita dan alurnya terlalu dibuat-buat sampai berpuluh episode seakan tidak mampu menyelesaikan jalan kisah Cinderella selama 2 jam setiap hari.
Menurut saya, kalau sebatas menyukai artis-artis korea dan segala tetek bengeknya itu masih wajar. Toh tidak sampai ingin pindah rumah ke Asia Timur dan berganti kewarganegaraan, kan? Ya walaupun di sisi lain industri musik dan film Indonesia mungkin saja mengalami kemunduran, sampai saat ini ‘Curahan Hati Seorang Isteri’ masih tayang karena ada penikmatnya, kok. Ditambah lagi ‘Tukang Bubur Naik Haji’ baru saja memperoleh penghargaan dari Tokyo Drama Awards.. Kurang kece apa coba?

“Syukurlah masih ada yang mengapresiasi karya anak bangsa Indonesia, walaupun itu justru negara lain bukan negeri kita sendiri.” Begitu pemikiran kita, bukan?

Salah! Kesalahannya dimulai dari hal kecil ini. Budaya yang luntur.

Ujung paling mengkhawatirkan dari semua budaya asing yang menyerang negeri kita adalah perubahan mindset dan perilaku. Manusia yang menyukai sesuatu hal akan cenderung meniru hal tersebut (biasa disebut imitasi). Bagus kalau yang ditiru itu hal-hal baik, misalnya kerja keras trainer-trainer korea berlatih sejak SD sampai kuliah atau nasionalisme artis Thailand sebagai promotor pariwisata di negaranya. Lha ini? Pakaian mininya, free-sexnya, narkobanya.. Duh, mau dibawa kemana nasib remaja Indonesia?
Jadi benar sekali kalau judul video kontemplasi itu ‘Menjadi Indonesia’. Selama ini kita hanya mengaku-aku sebagai Warga Negara Indonesia, sementara perilaku kita sama sekali tidak mencerminkan Indonesia.
Indonesia yang dikenal dengan keramahannya, sopan-santunnya, dan hal-hal positif buah dari kearifan lokal nenek moyangnya berubah total saat ini. Perubahan yang mengarah pada dampak negatif, tentu saja. Bagaimana tidak? Warga Indonesia sudah tidak lagi menganggap budaya sebagai sumberdaya yang perlu dilestarikan dan dilindungi. Mereka menyalahartikan istilah asimilasi dan akulturasi yang sering disebut-sebut. Sekali lagi, tolong cek pengertian dari kedua istilah tersebut. Meniru budaya lain tidak termasuk dalam definisi keduanya.

Di sisi lain, saya ingin mengulas sedikit soal cerita Kak Ratna Galih (Pengajar Muda di Indonesia Mengajar 8 Pulau Bawean). Warga di Pulau Bawean saat ini lebih menguasai bahasa melayu ketimbang bahasa Indonesia. Ada yang tahu kenapa? Ya, bisa jadi dahulu kala sebelum es mencari, Pulau Bawean adalah bagian dari Sabah dan Serawak. Ternyata cerita Kak Galih berkata lain...
“...orang-orang Bawean ini sudah pergi ke Malaysia bahkan sebelum mereka mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.” tulisnya.
Betapa mengenaskan kondisi saudara-saudari kita di sana. Kak Galih juga menceritakan tentang pengalaman saat pertama kali ia ditempatkan di Bawean dan seseorang bertanya darimana asal Kak Galih. Saat Kak Galih menjawab “dari indonesia” orang itu bertanya lagi dimana letak Indonesia. Tuhan... Warga Indonesia sendiri tidak tahu kalau ia sedang ada di Indonesia. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Siapa yang harus disalahkan kalau warga di tempat terpencil bisa tertinggal sejauh ini?

Mari introspeksi. Tidak seharusnya bangsa kita tidak Indonesiawi seperti ini, baik lahir maupun batin. Sebagai pemuda yang katanya harapan bangsa.... yuk, sama-sama melek akan fenomena sekitar dan tetap teguh atas jati diri bangsa Indonesia. #MariMenjadiIndonesia

Ingat satu hal bahwa maju-mundurnya suatu bangsa tergantung bagaimana idealisme pemudanya.

Silakan share pemikiran teman-teman tentang masalah di atas, apa gunanya saya publish kalau bukan untuk mencari solusi bersama? Sekian dari saya, kurang lebihnya mohon dimaafkan.

Cerita Kak Galih selengkapnya bisa dibaca di sini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar