Mengamati Krisis Budaya Remaja

Belakangan ini saya rajin
mengikuti acara seminar yang diselenggarakan di fakultas. Tema kedua seminar
terakhir yang saya ikuti cukup mirip yakni tentang kepemudaan, dan kebetulan di
dua seminar tersebut diputar satu video yang sama yakni video ‘Menjadi Indonesia’.
Judul videonya menarik,
setidaknya bagi saya. Secara garis besar, dalam video ini beberapa tokoh yang
dituakan di Indonesia berpendapat tentang bagaimana kondisi Indonesia saat ini.
Ya, Indonesia kita tercinta..
yang tidak semua pemimpinnya memimpin..
yang kewalahan hanya karena
masalah banjir dan macet...
yang warganya lebih suka musik luar negeri daripada musik dalam negeri...
dimana korupsi seakan-akan sudah menjadi hal yang umum..
dimana korupsi seakan-akan sudah menjadi hal yang umum..
dan beragam permasalahan rumit
lainnya yang semakin meyakinkan mindset kita bahwa Indonesia masih
begini-begini aja. Njlimet. Ribet. Srimpet.
Setelah menonton video ini, saya
jadi makin sadar kalau bangsa Indonesia sudah kehilangan jati dirinya –selanjutnya
akan saya sebut dengan istilah tidak
Indonesiawi- tampaknya saya pun demikian. Saya mengakui bahwa saya menyukai
lagu-lagu korea, saya menikmati drama dan anime jepang. Saya juga sedikit
banyak mengerti bahasa mereka, tetapi saya bahkan tidak mahir menjawab saat
Simbah telepon dengan bahasa krama jawa. Sungguh terlalu. Diakui atau tidak
diakui, krisis budaya ini sudah umum terjadi dan dianggap sebagai hal yang
wajar. Alasannya karena musik Indonesia semakin kesini semakin alay dan tidak
bermutu, film dan sinetron apalagi. Cerita dan alurnya terlalu dibuat-buat
sampai berpuluh episode seakan tidak mampu menyelesaikan jalan kisah Cinderella
selama 2 jam setiap hari.
Menurut saya, kalau sebatas
menyukai artis-artis korea dan segala tetek bengeknya itu masih wajar. Toh
tidak sampai ingin pindah rumah ke Asia Timur dan berganti kewarganegaraan,
kan? Ya walaupun di sisi lain industri musik dan film Indonesia mungkin saja
mengalami kemunduran, sampai saat ini ‘Curahan Hati Seorang Isteri’ masih
tayang karena ada penikmatnya, kok. Ditambah lagi ‘Tukang Bubur Naik Haji’ baru
saja memperoleh penghargaan dari Tokyo Drama Awards.. Kurang kece apa coba?
“Syukurlah masih ada yang
mengapresiasi karya anak bangsa Indonesia, walaupun itu justru negara lain
bukan negeri kita sendiri.” Begitu pemikiran kita, bukan?
Salah! Kesalahannya dimulai dari
hal kecil ini. Budaya yang luntur.
Ujung paling mengkhawatirkan dari
semua budaya asing yang menyerang negeri kita adalah perubahan mindset dan
perilaku. Manusia yang menyukai sesuatu hal akan cenderung meniru hal tersebut
(biasa disebut imitasi). Bagus kalau yang ditiru itu hal-hal baik, misalnya kerja
keras trainer-trainer korea berlatih sejak SD sampai kuliah atau nasionalisme
artis Thailand sebagai promotor pariwisata di negaranya. Lha ini? Pakaian
mininya, free-sexnya, narkobanya.. Duh, mau dibawa kemana nasib remaja
Indonesia?
Jadi benar sekali kalau judul
video kontemplasi itu ‘Menjadi Indonesia’. Selama ini kita hanya mengaku-aku
sebagai Warga Negara Indonesia, sementara perilaku kita sama sekali tidak mencerminkan
Indonesia.
Indonesia yang dikenal dengan
keramahannya, sopan-santunnya, dan hal-hal positif buah dari kearifan lokal
nenek moyangnya berubah total saat ini. Perubahan yang mengarah pada dampak
negatif, tentu saja. Bagaimana tidak? Warga Indonesia sudah tidak lagi
menganggap budaya sebagai sumberdaya yang perlu dilestarikan dan dilindungi.
Mereka menyalahartikan istilah asimilasi dan akulturasi yang sering
disebut-sebut. Sekali lagi, tolong cek pengertian dari kedua istilah tersebut.
Meniru budaya lain tidak termasuk dalam definisi keduanya.
Di sisi lain, saya ingin mengulas
sedikit soal cerita Kak Ratna Galih (Pengajar Muda di Indonesia Mengajar 8
Pulau Bawean). Warga di Pulau Bawean saat ini lebih menguasai bahasa melayu
ketimbang bahasa Indonesia. Ada yang tahu kenapa? Ya, bisa jadi dahulu kala
sebelum es mencari, Pulau Bawean adalah bagian dari Sabah dan Serawak. Ternyata
cerita Kak Galih berkata lain...
“...orang-orang Bawean ini sudah
pergi ke Malaysia bahkan sebelum mereka mampu berbahasa Indonesia dengan baik
dan benar.” tulisnya.
Betapa mengenaskan kondisi
saudara-saudari kita di sana. Kak Galih juga menceritakan tentang pengalaman
saat pertama kali ia ditempatkan di Bawean dan seseorang bertanya darimana asal
Kak Galih. Saat Kak Galih menjawab “dari indonesia” orang itu bertanya lagi
dimana letak Indonesia. Tuhan... Warga Indonesia sendiri tidak tahu kalau ia
sedang ada di Indonesia. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Siapa yang harus
disalahkan kalau warga di tempat terpencil bisa tertinggal sejauh ini?
Mari introspeksi. Tidak
seharusnya bangsa kita tidak Indonesiawi
seperti ini, baik lahir maupun batin. Sebagai pemuda yang katanya harapan bangsa.... yuk, sama-sama melek akan fenomena
sekitar dan tetap teguh atas jati diri bangsa Indonesia. #MariMenjadiIndonesia
Ingat satu hal bahwa maju-mundurnya
suatu bangsa tergantung bagaimana idealisme pemudanya.
Silakan share pemikiran
teman-teman tentang masalah di atas, apa gunanya saya publish kalau bukan untuk mencari solusi bersama? Sekian dari saya,
kurang lebihnya mohon dimaafkan.
Cerita Kak Galih selengkapnya
bisa dibaca di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar