Kamis, 22 Oktober 2015

Teenage Dream!


Tulisan ini dibuat sambil melototin satu album full Sherina yang bertajuk Andai Aku Dewasa. Kebetulan lagu yang sedang diputar kali ini berjudul “Bermain Musik”, and suddenly I feel I can’t really move on from my childhood.
Masa kecilku begitu menyenangkan. Lahir dan tumbuh besar di kota megah, Surabaya, dengan segudang teman-teman baik yang senantiasa setia bermain bersama siang hari sepulang sekolah. Setiap liburan tidak rewel berkunjung di rumah Simbah di Solo karena punya begitu banyak saudara sepupu seumuran. Dan yang terpenting yang sampai saat ini membuatku tak henti bersyukur adalah, lahir dari keluarga besar yang menjunjung tinggi  nilai-nilai agama islam di setiap lentera kehidupannya. Alhamdulillah alla kulli hal.
Motifku menuliskan topik ini adalah karena sejak masuk BEM KM, aku dan Ilma dipanggil dengan nickname “TEENS” yang berarti = TEENAGERS. Kami berdua diterima di BEM KM pada usia 18 tahun an. Tahun ini saya memasuki usia 19 tahun dan Ilma 20 tahun (baru kemarin akhir September). Awalnya, hanya teman-teman 1 Kementerian PSDM saja yang memanggil kami “teens”, namun lama kelamaan kakak Presma (kak Dadan, yang kini menjadi supervisor kami di management TEENAGERS”, kak El, kak Dila, kak Ajeng, dan sebagian besar teman-teman di BEM KM memanggil kami demikian.

Misi kami adalah : “Menjadi remaja yang menginspirasi dunia” #yoiiih
Jargon kami adalah: “Muda belia, cantik jelita, multitalenta!” #okeabaikan
Sekarang, playlist saya memutar lagu berjudul Tunjuk Satu Bintang. Pernah dengar? Yang dinyanyikan oleh 5 besar finalis Idola Cilik Season 1; Sivia, Gabriel, Zahra, Angel, Kiki. Well, now they’re turning to their own universities, which means they’re not ‘cilik’ anymore. And me too.
Ngomongin idola cilik, aku pernah ngefans berat sama Debo dan Obiet di Idola cilik 2 sampai-sampai dulu ingin sekali daftar ajang pencarian bakat yang digelar RCTI tersebut. Harap maklum lah, waktu itu masih kelas 7 SMP jadi pas zaman labil-labilnya. Bahkan, dulu sempat bersama sepupu kesayangan Isna pergi ke acara perayaan natal di Semarang hanya untuk nonton Obiet live! #edan :D Hahaha, sambil liburan juga sih waktu itu. Anyway, I never regret those experiences til now~ keke
Yang paling ababil sepanjang hidup bagi seorang remaja adalah : menentukan cita-cita.
Yeah, percaya atau tidak setiap orang pasti beribu kali pernah ganti cita-cita seiring dengan tahap pendidikan yang dienyam. Studi kasus, diri sendiri..
1.       TK, ingin jadi dokter karena doktrin orang tua. Biasa lah “anak kecil pinter kalau besar jadi dokter”
2.       Awal masuk SD, ingin jadi pramugari karena segalanya terkesan keren. Naik pesawat kemana-mana, pergi ke luar negeri gratis, cantik semampai bak kutilang (kurus tinggi langsing), jago bahasa inggris.
3.       SD akhir-akhir, ingin jadi dokter (lagi) karena berhasil jadi semifinalis lomba cerdas cermat dokter kecil tingkat provinsi #gaksombong #pameraja #bedatipis
4.       SMP, nah ini yang paling beda. Aku ingin jadi sutradara film! Woohooo J Sebuah cita-cita langka untuk anak SMP kan? Alasannya sederhana, karena sering nulis fiksi sehingga ingin fiksi tersebut divisualisasikan secara nyata.
5.       Ehm, selingan ingin jadi penyanyi juga pernah karena virus Idola Cilik dan kebetulan tergabung di Tim Paduan Suara sekolah sejak SMP-SMA. Belum lagi dukungan Bapak yang waktu itu belikan anak bungsunya keyboard.
6.       Awal SMA, ingin jadi guru agama islam. Terinspirasi dari Ibu yang sekarang guru tahsin dengan bayaran pahala dunia akhirat. Aamiin
7.       SMA, ingin jadi dokter (lagi lagi). Bagi anak SMA di kelas akselerasi, berhasil masuk ke perguruan tinggi jurusan Kedokteran adalah rangking 1. Siapa yang nggak tergiur dengan prestige sekeren itu? Selain itu, Ibuku dulu sangat ingin anaknya ada yang jadi dokter. Dulu Ibu hamper jadi dokter, tapi karena keterbatasan biaya akhirnya memilih untuk jadi perawat mata :”)
8.       Akhir SMA, ingin jadi pegawai BPOM RI. Karena waktu itu sudah memutuskan untuk daftar IPB Teknologi Pangan. Dan waktu itu aku dengan songongnya optimis kalau bakal keterima di pilihan pertama HAHAHA :p
9.       TPB, setelah merasa salah jurusan dan kebetulan berkutat di Kominfo BEM TPB alhasil aku merasa ingin mencoba peruntungan jadi jurnalis. Sama seperti Bapak, Tante, Om, ahaha. Dan disinilah aku nekat daftar SNMPTN lagi dengan pilihan pertama kedua kedokteran, dan ketiga komunikasi.
10.   Masuk fakultas, yang berarti aku gagal dong SNMPTN? Hehehe
Mengenal istilah konservasi dan idealisme-idealisme yang begitu mengakar, aku pun kemudian ingin jadi konservasionis. Terutama yang fokus sama perlindungan hiu.
11.   Sekarang, setelah semua tetek bengek kehidupan kuliah yang menjemukan ini.. Aku semakin bingung menentukan pilihan mau jadi apa. Sarjana saja belum kelar, eh ditambah dengan pascasarjana yang sudah mulai kuliah… Melihat kakak pertamaku yang dengan barokahnya berhasil lolos jadi PNS di Kemenhut setelah seleksi 2 orang dari 7000 an orang, akhirnya terbesit juga ingin jadi PNS. Orang-orang bilang sih baiknya jadi dosen atau peneliti. But those duties sound tiring just by hearing its’ name…
Menjadi seorang remaja adalah sebuah proses yang kritis dalam kehidupan manusia. Kenapa? Karena sering kali remaja suka goyah pendirian dan rentan pengaruh lingkungan. Umumnya, karena merasa muda jadi remaja inginnya masih senang-senang saja. Nggak mikirin itu uang dihambur-hamburkan punya siapa, ini ujian nyontek kesana-sini apa nggak takut dosa, dan lain-lain. Makanya, akan sangat penting punya idealisme yang kuat untuk dipegang setiap saat. Senang-senang boleh, tapi dalam batas wajar saja dan kalau biasa setiap kegiatan disalurkan pada hal yang positif.
Remaja adalah masa-masa pembentukan karakter masa depan kita, guys. Dan remaja yang baik seharusnya bisa mencerminkan karakter seorang pemuda, yang dipundaknya bergantung amanah besar untuk memajukan bangsa suatu saat nanti. Nah, karena tulisan ini semakin ngaco, oleh karena itu berakhirlah tulisan ini dengan teenage dream seorang Aulia Maghfirotul yang sederhana saja: menjadi istri shaliha #eaaa ^o^

Minggu, 16 Agustus 2015

Tentang Gie dan Saya



Saya nggak pernah tahu apa tujuan Riri Riza dan Mira Lesmana membuat film Gie. Tetapi di prolog film Gie tertulis bahwa film tersebut hanya sebuah interpretasi dari perjalanan hidup seorang Soe Hok Gie, seorang pemuda keturunan CIna yang hidup di masa pergolakan dan merekamnya dalam catatan harian.
Niatnya, saya cuma iseng ingin nonton film Gie (untuk yang entah ke berapa kalinya) karena hari ini 17 Agustus. Saya sudah mahasiswa, jadi tidak ikut lomba, upacara, atau selebrasi hari ulang tahun Indonesia lainnya. Lebih-lebih, saya sedang berlibur di tempat saudara saya sehingga tak banyak yang saya lakukan di hari libur nasional ini.
Di sini saya malu mau bicara tentang nasionalisme. Saya malu sama sosok Gie yang walaupun bukan aseli orang Indonesia tetapi mencurahkan seluruh cinta di hidupnya untuk Indonesia hingga akhir hayatnya. Dah say amah apa atuh, umur saya sudah 19 tahun dan saya merasa belum melakukan apapun untuk negara yang katanya sangat saya cintai ini.
Jadi , sambil berpikir tentang kontribusi apa yang sudah saya lakukan untuk Indonesia, izinkan saya bicara tentang idealisme saja. Saya sering menilai diri saya sendiri idealis. Menjadi idealis bukan sebuah kelebihan atau kekurangan pribadi seseorang (kata kakak saya, dia psikolog) karena idealisme orang berbeda-beda. Tetapi, sejauh ini saya berusaha untuk menjadi idealis atas dasar islam meskipun banyak kekurangan di sana sini. Saya tahu, Allah Maha Melihat dan setiap waktu di kanan kiri saya ada malaikat yang mencatat semua amal dan dosa saya. Jadi saya selalu mendoktrin diri sendiri untuk sebisa mungkin memegang ideologi islam kapan pun dan dimana pun saya berada.

Rabu, 27 Mei 2015

tulisan nggak penting



Belakangan gue baru ngepoin (red: kepo) sama blog salah satu kakak kelas. Well, isi blognya kebanyakan memang tentang curhatan sih, tapi toh buktinya gue dan beberapa temen yang kepo maksimal tetap baca. HAHAHA :D Dulu gue udah berniat untuk nggak lagi posting isi hati ke blog, karena kata tante gue hal itu gak akan berguna buat dibaca orang lain. Ya kan? Tapi entah kenapa, the feeling of not writing is pathetically much worse than writing you self-story. Jadi di pagi yang cerah ini gue pengin sedikit kembali egois untuk curhat lewat blog ini daripada nggak keisi sama sekali. Kali aja suatu saat ada orang iseng atau adik-adik kelas yang kepo sama gue dan memutuskan untuk baca blog ini *ngarep*
Prolognya kepanjangan, ya? Hehe itu baru masalah pertama. Masalah keduanya, sekarang gue bingung harus memulai dari mana. Many things happened in just a very short time. Mulai dari masuk BEM KM dengan embel-embel mengkhianati BEM Fakultas lah, dititipin amanah sama Menteri buat pegang proker sama partner jaman TPB, masuk Laskar Inspirasi, teman-teman yang sudah mulai penelitian di saat gue masih bingung menentukan topik, konflik personal sama dominansi non system, tawaran fast track, ganti murobbi untuk yang ke-sekian kalinya, dan segala hal memusingkan lain yang akhirnya berhasil membuat isi otak gue bercabang.
Beruntungnya, Allah masih begitu sayang sama gue karena dengan semua aktivitas super padat dan menyita hidup tersebut gue masih dikaruniai kesehatan jasmani dan ruhiyah yang patut gue syukuri. Baru 3 hari ini sejak pulang fieldtrip dari Sukabumi akhirnya gue jatuh sakit. Mungkin virus-virus yang menyerang tubuh gue udah terakumulasi sejak terakhir kali gue sakit. Pertanyaannya, kapan terakhir gue sakit? Gue sendiri udah lupa saking lamanya. Inilah yang jadi alasan kenapa kadang gue berfikir, apa manusia itu berhak untuk jatuh cinta sama selain diri-Nya? Karena cinta-Nya yang begitu hakiki dan tanpa pamrih itu selalu berhasil bikin hati gue meleleh atas rasa syukur dan sedih atas rasa bersalah mengingat dosan gue tumpuk undhung.

Sabtu, 14 Maret 2015

Memihak Ekologi, Demi Ekonomi Berkelanjutan

Awal januari yang lalu Menteri Kelautan Perikanan RI, Susi Pudjiastuti, menetapkan sebuah peraturan baru yang mengundang kontroversi. Peraturan mengenai larangan penggunaan alat tangkap ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) ini menjadi bahan obrolan yang hangat hingga belakangan ini. Demonstrasi dilakukan beberapa nelayan yang kontra dengan peraturan ini meskipun di sisi lain banyak juga nelayan yang pro terhadap peraturan ini (Per Men KP No 2 tahun 2015).
Nelayan-nelayan di Tegal, Demak, Pekalongan, dan beberapa daerah pantai utara lainnya kebanyakan tidak setuju dengan peraturan ini. Selain dianggap merugikan, mereka beralasan bahwa peraturan ini tidak disosialisasikan dengan baik oleh pihak Kementerian Kelautan Perikanan. Nelayan yang kontra ini mengaku telah menggantungkan hidup pada mata pencahariannya pada penangkapan ikan. Melarang penggunaan pukat hela dan pukat tarik berarti sama saja dengan membunuh dan mematikan sumber kehidupan mereka. Toh, hasil tangkapan juga akan dilaporkan ke dinas perikanan daerah setempat, sehingga mereka berkesimpulan bahwa selama ini pemerintah juga ikut andil dalam berperan sebagai penadah.
Image result for pelarangan pukat hela