Rabu, 27 Mei 2015

tulisan nggak penting



Belakangan gue baru ngepoin (red: kepo) sama blog salah satu kakak kelas. Well, isi blognya kebanyakan memang tentang curhatan sih, tapi toh buktinya gue dan beberapa temen yang kepo maksimal tetap baca. HAHAHA :D Dulu gue udah berniat untuk nggak lagi posting isi hati ke blog, karena kata tante gue hal itu gak akan berguna buat dibaca orang lain. Ya kan? Tapi entah kenapa, the feeling of not writing is pathetically much worse than writing you self-story. Jadi di pagi yang cerah ini gue pengin sedikit kembali egois untuk curhat lewat blog ini daripada nggak keisi sama sekali. Kali aja suatu saat ada orang iseng atau adik-adik kelas yang kepo sama gue dan memutuskan untuk baca blog ini *ngarep*
Prolognya kepanjangan, ya? Hehe itu baru masalah pertama. Masalah keduanya, sekarang gue bingung harus memulai dari mana. Many things happened in just a very short time. Mulai dari masuk BEM KM dengan embel-embel mengkhianati BEM Fakultas lah, dititipin amanah sama Menteri buat pegang proker sama partner jaman TPB, masuk Laskar Inspirasi, teman-teman yang sudah mulai penelitian di saat gue masih bingung menentukan topik, konflik personal sama dominansi non system, tawaran fast track, ganti murobbi untuk yang ke-sekian kalinya, dan segala hal memusingkan lain yang akhirnya berhasil membuat isi otak gue bercabang.
Beruntungnya, Allah masih begitu sayang sama gue karena dengan semua aktivitas super padat dan menyita hidup tersebut gue masih dikaruniai kesehatan jasmani dan ruhiyah yang patut gue syukuri. Baru 3 hari ini sejak pulang fieldtrip dari Sukabumi akhirnya gue jatuh sakit. Mungkin virus-virus yang menyerang tubuh gue udah terakumulasi sejak terakhir kali gue sakit. Pertanyaannya, kapan terakhir gue sakit? Gue sendiri udah lupa saking lamanya. Inilah yang jadi alasan kenapa kadang gue berfikir, apa manusia itu berhak untuk jatuh cinta sama selain diri-Nya? Karena cinta-Nya yang begitu hakiki dan tanpa pamrih itu selalu berhasil bikin hati gue meleleh atas rasa syukur dan sedih atas rasa bersalah mengingat dosan gue tumpuk undhung.

Di usia yang begitu muda ini, gue nggak ngerti mesti bersyukur atau menyesal. Kenapa bersyukur? Ya bisa aja, sebut gue dewasa karbitan karena masuk sekolah kecepetan ditambah pernah akselerasi hingga kelak 21 tahun gue udah menyandang gelar M.Si *aamiin ya Allah* hehehe ^^ Kenapa menyesal? Ya itu tadi, gue merasa banyak hal yang seharusnya gue nggak tahu tapi gue justru tahu sebelum waktunya. Mungkin efek positif (atau negatif?) dari otak gue yang kelewat cepet nangkep hal-hal baru yang masuk. Contohnya adalah…………. sistem yang secara nggak langsung mengatur hidup gue sejak gue kuliah di IPB. Dan hal ini baru gue sadari sepenuhnya ketika semester 4 kemarin.

Bersama salah seorang sahabat tercantik gue, Anggi Andarini Ritonga, kami menyadari berlakunya sebuah pengaturan yang ada di kampus kami di mana ternyata kami udah terjebak dalam sistem tersebut tanpa gue sadari (karena pada kenyataannya, Anggi cukup sadar kalau sudah dijebloskan ke jalan yang benar #eh). Dari yang awalnya kami diskusi seru soal ketidakpahaman kami, lanjut ke pertanyaan soal alasan-alasan adanya system itu, siapa-siapa saja orang di balik system itu, musuh-musuh yang system itu hadapi, permasalahan yang system itu hadapi saat ini, sampai akhirnya kemarin terakhir kali kami diskusi gue akhirnya bisa memutuskan bahwa kami –gue dan anggi- memilih untuk setuju dengan adanya system tersebut di kampus kami. Setuju ya, bukan bergabung (atau belum? #nahlho) *evil smirk*

Atas dasar apa kami yang awalnya kontra terus jadi pro terhadap system tersebut? Sederhana saja, karena kami muslim. Sistem tersebut gue akui sangat rapi, dan kalau anggi bilang produk yang dihasilkan system tersebut emang tok cer alias berkualitas. Jadi kenapa harus khawatir ketika posisi strategis di kampus kami tercinta ini diisi oleh orang-orang system tersebut? Toh, sejauh ini –yang kami tau- nggak ada niat buruk yang melatarbelakangi adanya system tersebut. Cacat-cacat sedikit di sana sini menurut gue wajar, karena manusia sempurna itu cuma Rasulullah dan kebenaran sejati itu hanya milik Allah.

Yang gue nggak habis pikir justru sebaliknya, kenapa ada orang-orang yang berusaha mati-matian melawan system tersebut? Mengatasnamakan dinamisasi sebagai pelindung rasa sakit hati? Tanpa dinamisasi yang lo maksud dan sengaja bentuk, gue yakin yang namanya dinamika di sebuah rona hidup itu pasti ada, coy. Kenapa harus menambah masalah lain ketika masalah satu saja belum terselesaikan?
Parahnya, yang melawan ini sama-sama muslimnya. Satu islam, satu keyakinan, satu Tuhan, satu Nabi. Sadarkah kalau permasalahan internal sesama muslim ini akan semakin memecah belah kita? Apakah harus menunjukkan perbedaan ini sebagai kelemahan kaum muslim supaya dunia pada tahu? Sampai di sini, gue sama Anggi selalu kehabisan kata-kata buat disampaikan. Otak kita udah berhenti mikir dan akhirnya kita pergi ke Alfamidi #gubrak

Terakhir, satu hal yang secara garis besar gue pertanyakan di sini: Kenapa kita harus fokus hanya pada 1 perbedaan, ketika kita punya 1000 persamaan?

nb: ngeh atau ga, baru kali ini gue nulis blog dengan kata ganti ‘gue’ bukan lagi ‘aku’ atau ‘saya’. Hal ini menandakan kalau gue dan lo, aku dan kamu, aku lan kowe, aku mbek kon, inyong marang pean, itu hanya perbedaan kecil yang menggantikan persamaan arti mereka dengan kata ‘gue dan lo’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar