Penulis : Lucia Priandarini
Penerbit : Grasindo
Tebal : 170 halaman
Genre : romance
First of all, I will apologize
because this review contains of bahasa Indonesia dan Inggris yang campur aduk.
Lagi merasa ingin meningkatkan kemampuan diri tapi kalo ditulis full dengan
bahasa inggris, kok ini novelnya bahasa Indonesia? Hehe ^^ Nggak papa, sudah
ada mood untuk menulis ini saja syukur Alhamdulillah!
Last week I happened to be
strolling around Gramedia with my friend. Thinking that I need to kill my spare
time with books instead of Korean dramas, I decided to buy novels (since I’m
not into serious yet brain-storming books). Pertama aku sudah punya target mau
beli novel terbaru Orizuka yang judulnya ‘Momiji’. Kemudian, ketika sedang
mencari-cari, kulihat di rak ada novel 11:11. Sejak SMP, aku suka sekali sama
nomer 11 karena dulunya itu nomer absenku di sekolah. Jadi merasa punya
keterikatan dengan nomer 11 gitu deh, ceritanya #eaa. Oh iya, awalnya ragu mau
beli novel ini atau novelnya Clara Canceriana berjudul ‘Better With You’ , tapi
kemudian saat baca synopsis kok kisahnya tentang anak SMA ya.. hehe jadi kurang
berminat kalau baca kisah teenlit gitu. Yeah, sejak kuliah apalagi sekarang S2
kan ya minimal bacaannya yang bercerita soal anak kuliah juga atau yang sudah
bekerja lah.
Alasan kedua kenapa memilih beli
buku ini, jadi dulu ketika SMA ku sudah pernah baca novel terbitan Grasindo
juga yang best seller judulnya ‘Dan Hujan Pun Berhenti’. Dan pas ingat itu, I
believe Grasindo never published any ecek-ecek books or novels. Aku yakin novel
ini pasti bagus! –aku bukan tipe orang yang berani buka sampul buku di toko
buku meski hanya untuk ngecek apakah buku ini worth to buy or not- Berlanjut ke
sinopsisnya, it seems so appealing. I actually the type of girl who accustomed
to travel alone, and the synopsis tells about how a brief open trip can unite
people from our past in fate again. Ini salah satu bagian yang kusuka dari
novel ini:
“Sudah berapa kali ikut open trip
seperti ini?”
“Aku nggak suka bertemu orang
baru. Rasanya malas memulai dari awal. Memberi tahu lagi siapa aku, kerja apa,
tempat tinggalku di mana.”
“Aku justru suka ketemu orang-orang yang belum tahu siapa aku. Dengan
begitu aku bisa jadi orang yang selama ini aku inginkan. Aku bisa mulai dari
awal lagi tanpa terbebani ingatan orang akan kenyataan atau pilihan-pilihan
bodohku di masa lalu…”
Ketika baca kalimat di atas, aku
langsung merasa.. ‘Oh My God, that’s so true!!!’ well, sebenarnya aku juga
50:50 sih, kadang senang kadang malas ketemu orang baru. But from this novel I
am influenced so much and wanted to join an open trip someday. Novelnya
mengalir, menceritakan bagaimana Mikha dan Btari yang pernah sebatas kenal di
kehidupan sebelumnya kemudian saling akrab satu sama lain dalam waktu yang
singkat. Menurutku itu bukan hal yang mustahil bagaimana sebuah perjalanan bisa
dengan magis membuat orang yang semua saling asing kemudian merasa nyaman
dengan kehadiran satu sama lain.
Okay, you can call me delusional
and too much dramatic point of view but… It occurred, guys. Hal seperti
benar-benar terjadi. As I said before, I’m a super introvert person with
overthinking mind who tends to be uncomfortable to interfere with. Tetapi, di
perjalanan-perjalanan yang sudah aku lalui sendiri beberapa kali, ada kalanya
aku bertemu dengan orang-orang yang membuatku bebas bercerita apapun yang
kumau. Meeting new people, we just simply can be ourselves, honest to our own
choice, and become new individuals that we expect to be.
Second point I want to talk about
is, thalassemia. Sebelum baca novel ini, aku pernah dengar kalau ada penyakit
namanya talasemia. Tapi aku nggak pernah tahu itu penyakit apa, bagaimana kita
bisa tertular, apakah itu menurun, dlsb. Dan lewat novel ini Mba Rinilucia
menyisipkan dengan apik penjelasan-penjelasan mengenai talasemia yang menurutku
mudah sekali buat dipahami. Termasuk dengan gambar mekanisme penurunan penyakit
talasemia yang dia selipkan di akhir novel, menurutku itu sebuah ide yang
brilian. Dari novel ini, aku jadi belajar bahwa kita sebaiknya aware dengan
hal-hal semacam ini. Jadi yang aku tangkap dari novel ini adalah bagaimana
talasemia itu menjadi penyakit yang dirahasiakan oleh penderita atau pembawa
sifatnya karena berbagai macam alasan, utamanya berkaitan dengan pasangan
hidup.
“Orang berkata padaku, ‘Syukur
kamu tidak kena talasemia’. Tapi, kupikir sedih sekali ketika kita baru bisa
bersyukur karena memikirkan orang yang lebih menderita dari kita.”
“Jadi… kita adalah satu dari tiap
seratus orang yang terpilih hidup bersama talasemia. Dan, kamu lebih langka
lagi. Satu-satunya dari sebuah keluarga yang seluruhnya hidup dengan talasemia.
Kamu keajaiban dunia, tapi tidak bahagia. Itu hal yang tidak boleh terjadi.”
Yes, aku rada spoiler dikit. Wkwk
:D sepertinya harus segera kusudahi tulisan ini. Supaya nggak kebablasan dan
para pembaca tetap penasaran dengan isi novel ini lalu segera membeli bukunya.
Given the chance to rate this book, I will give 4.75/5 stars! Lho, kenapa
nanggung banget, 0.25 nya kenapa? Hehe jadi dari yang kubaca, masih ada
beberapa typo penulisan dan juga spasi yang menurutku terlalu pendek. Yang
kedua, aku agak segan ketika membaca percakapan antar tokoh yang terkesan
sangat formal. Hmm, aku nggak tahu sih apakah memang aturan kebahasaan memang
mengharuskan demikian, cuma menurutku aneh aja. I mean, come on man in this era
of globalization kan kita jadi aneh ketika nyebut ‘nggak’ itu ‘tidak’ atau
‘kamu’ itu ‘kau’. There are minor parts in the novel which aren’t consistent,
mungkin miss di editornya bukan penulisnya.
And last, aku rasa budaya
apresiasi kini semakin berkurang ya. Hal inilah yang menurutku sangat
disayangkan, karena bayangin aja betapa damainya hidup kita saat satu atau dua
ungkapan terimakasih bisa membuat seseorang termotivasi untuk berusaha lebih giat
lagi. Ya kan? So this morning I sent direct messages to Mba Lucia Priandarini
(@rinilucia) via instagram then she really thanked me for having her book
bought and read. I adore her! (karena sekali lagi, banyak banget bagian dari novel
ini yang quote-able dan menurutku itu bukan hal yang mudah menuliskan fiksi
yang rich of life values). Jadi, coba yuk kita biasakan budaya apresiasi ke
orang-orang yang berkarya dengan baik, orang-orang yang membantu kita, pun pada
orang-orang yang mengkritik kita. Semoga itu semua bisa jadi dasar buat kita
berbenah dan membangun diri kea rah yang lebih baik :) bye!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar