Tiga hari lalu, grup whatsapp
kawan-kawan kuliah (S1) ramai lagi karena ada salah satu kawan kami yang
melahirkan anak pertamanya. Ya, kawan kami itu adalah sahabat dekat saya Rofiul
yang kini sudah berstatus istri dari seseorang dan ibu dari bayi cantik tak
bernama (belum dipublikasikan). Di sela obrolan hangat kami, beberapa kawan
bilang ingin segera menyusul Rofi which means, kami juga ingin segera menikah
dan punya momongan. Entah kenapa, hal itu belum begitu saya rasakan saat ini.
“Aku nggak jadi kepingin (menikah
dalam waktu dekat)…” kata saya.
Well, beberapa bulan silam saya
menuliskan resensi sebuah drama bertema newlywed life kan? Sepertinya saya
terlalu menghayati tontonan sampai pernah ingin menikah juga di usia semuda ini
(I am still 21 years old!). Kerap kali, that lonely feelings come and go..
tetapi saat ini, sepertinya saya benar-benar berubah pikiran. Saya merasa belum
siap menikah, jadi saya belum ingin. Entah bagaimana, saya baru menyadari bahwa
belum banyak hal yang saya lakukan untuk orang tua saya.
Orang tua saya menikah di usia
yang terbilang cukup muda. Dan 4 tahun silam belum genap 50 tahun usia mereka,
ketiga anaknya sudah tidak lagi tinggal di rumah sehingga hanya sisa Bapak dan
Ibu saya saja. Awalnya, saya pikir ini hal yang biasa toh keduanya tidak pernah
menghalangi kami untuk kuliah jauh dari rumah. Di usia ke-16 saya pergi
meninggalkan rumah dan memutuskan untuk kuliah di Bogor sampai sekarang.
Kakak-kakak saya pun demikian. Meskipun tidak sampai sejauh Bogor-Solo, kakak
saya yang ke-2 malah sudah tidak tinggal di rumah sejak SMA.
Di satu sisi, akan menjadi
pembelajaran berharga bagi anak ketika merantau dari rumah. Anak akan lebih
mandiri, tidak manja, punya survival rate yang tinggi, dan berbagai hal positif
lainnya. Saya pun merasakan hal serupa saat setahun pertama jauh dari rumah dan
tinggal di asrama. Ketika kawan-kawan yang lain begitu sering ditelpon dan
dikunjungi orangtua mereka, saya tidak. Saya merasa canggung ketika
membicarakan hal-hal tidak penting via telepon dengan orang tua (terutama
bapak).
Saya dekat dengan Ibu, tetapi
dulu ketika belum ada whatsapp dan LINE, saya juga tidak sering berbalas pesan
singkat dengannya. Sepertinya saya terlalu menikmati kehidupan saya bersama
kawan-kawan saya di kampus. Sampai pada masa, ketika Bapak saya sering masuk
rumah sakit karena sakit darah tingginya yang sering kambuh. Saya merasa ada
yang salah dengan kebiasaan saya dalam hal komunikasi dengan orang tua.
Sekitar 2 bulan yang lalu, Bapak
jatuh sakit dan dinyatakan menderita stroke untuk pertama kalinya. Bagi saya,
ini merupakan sakit terberat yang beliau alami karena sebelumnya meski tensi
Bapak pernah mencapai 260 tetapi tidak pernah sakit separah ini. Semuanya
terasa tiba-tiba.. Bapak tidak bisa menggerakkan setengah badannya, tidak bisa
berjalan, tidak bisa menggerakkan jari tangan kanannya, bahkan sempat sampai
tidak jelas bicaranya.
Hal ini mungkin jadi salah satu
ujian terberat bagi keluarga kami, mengingat Bapak adalah satu-satunya lelaki
di keluarga inti kami dan merupakan tulang punggung keluarga. Di usia Bapak
yang ke-52, Bapak yang semangat dan etos kerjanya masih sangat tinggi, harus
terbaring di kasur seharian tanpa bisa melakukan hal yang berarti. Begitu pula
bagi Ibu. Ibu adalah sosok guru ngaji/ustadzah sekaligus murid sekolah bahasa
arab dengan jam terbang paling tinggi dibandingkan sesamanya. Karena kondisi
Bapak yang mendadak lumpuh, Ibu juga harus rela untuk libur sejenak dari segala
kesibukannya.
Banyak hal yang berubah dalam
keluarga kami. Terutama hal-hal yang berkaitan dengan kebiasaan hidup. Ada saat
dimana Bapak bosan dan berkata kalau beliau bukan sosok yang berguna lagi bagi
isteri dan anaknya. Di sisi lain, Ibu sebagai satu-satunya sosok yang merawat
Bapak, kehilangan kesabarannya karena sifat Bapak yang cenderung nekat dan
sembrono dalam masa pemulihannya. Saya dan kakak-kakak menjadi sasaran utama
Bapak dan Ibu ketika situasi di rumah sedang tidak kondusif, jadi kami memutuskan
untuk sering-sering pulang ke rumah secara bergilir hanya untuk memastikan
bahwa semuanya baik-baik saja.
Secara pribadi, hal paling
berbeda yang saya rasakan adalah timbulnya rasa emosional dalam diri saya
(dalam arti positif). Perasaan saya semakin mudah tersentuh, saya jadi cengeng,
sering menangis, dan menyesali banyak hal yang tidak bisa saya lakukan buat
orang tua saya di rumah. Dari dulu, saya orang yang cenderung overthinking, tetapi hanya mentok di
pikiran saja. Sebagai seorang introvert, saya masih pandai menyembunyikan
perasaan dan berpura-pura kalau keadaan saya baik-baik saja.
Pagi ini, grup whatsapp kami
bertiga (saya dan kakak-kakak) mendapat pesan terusan dari Ibu berisi laporan
bahwa Bapak (yang sudah mulai masuk kerja) berangkat tanpa semangat setelah
melakukan kesalahan saat mengirim berita. Ya, Bapak saya seorang wartawan, yang
mana dalam bekerja akan sangat membutuhkan keterampilan tangan dalam menulis.
Permasalahannya, jari tangan kanan Bapak masih belum bisa 100% berfungsi
seperti sedia kala. Jadi saya hanya bisa berharap pihak kantor bisa memaklumi
kondisi Bapak saat ini. Minggu lalu, Ibu saya juga lapor via grup whatsapp
kalau Bapak menangis. Sepertinya Bapak lelah dan kesal karena belum bisa mengemudikan
motor dan mengantarkan Ibu mengajar ngaji seperti dahulu. Bapak bilang, “kasihan
Ibu sekarang sering naik gojek padahal lagi musim hujan”. Bapak saya so sweet,
kan?
Belakangan ini, frekuensi ‘Ibu
melapor’ semakin sering. Dalam benak saya, saya sedikit bisa memahami rasa
kesepian kedua orang tua saya saat anak-anaknya sudah tidak lagi tinggal di
rumah, sedangkan aktivitas kedua orang tua saya sudah tidak sesibuk sebelumnya.
Tanpa mereka sadari mungkin mereka rindu ada orang-orang yang biasa diajak
bicara, bercanda, dan berdiskusi di rumah seperti sebelum kami bertiga
merantau. Untungnya, saya bersyukur akan kemajuan teknologi yang kini bisa memudahkan
kami dalam berkomunikasi meski tanpa tatap muka. Saya dan kakak-kakak semakin
sering menelpon rumah dan menanyakan hal-hal umum yang kadang terkesan tidak
penting. Malah, tak jarang Bapak yang justru jadi kesal karena keseringan
ditelpon, lalu memutus sambungan tak lama setelah telepon bersambut.
Oh ya. Saya jadi ingat, pernah
punya mimpi membelikan mobil untuk bapak pakai uang patungan kami bertiga. Saya
ingat saya masih punya hutang mengajak Ibu jalan-jalan ke Carita dan Pulau Seribu,
saat kali pertama saya menginjakkan kaki di sana. Saya ingat, saya punya janji
sama Ibu buat jadi salah 1 dari sedikit orang yang namanya dipanggil saat
prosesi wisuda berlangsung (sebagai wisudawan terbaik). Saya juga masih ingat,
punya keinginan berlibur ke Wina, Austria bersama kedua orang tua dan kakak
saya.. sesaat setelah kami menonton film Sound
of Music di rumah. Saya juga masih ingat, dan masih terus berdoa supaya
suatu hari nanti kami diberi kesempatan untuk pergi ke tanah suci bersama. Mudah-mudahan,
Allah beri kami berlima umur panjang dan rizki yang melimpah untuk bisa
mewujudkan mimpi-mimpi saya tersebut.
Terakhir, kembali ke topik awal…
mungkin tulisan ini menjadi jawaban atas pertanyaan Rofiul saat dia bertanya
pada saya “Kenapa nggak jadi pengin nikah cepet, Ul?”
Karena masih banyak yang harus
saya lakukan sebagai anak dari orang tua saya. Masih sangat sedikit hal yang bisa saya beri buat orang tua saya. Masih ingin lebih lama lagi saya habiskan waktu
saya dengan orang tua saya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar