Senin, 27 November 2017

you (my parents) are... the reason


Tiga hari lalu, grup whatsapp kawan-kawan kuliah (S1) ramai lagi karena ada salah satu kawan kami yang melahirkan anak pertamanya. Ya, kawan kami itu adalah sahabat dekat saya Rofiul yang kini sudah berstatus istri dari seseorang dan ibu dari bayi cantik tak bernama (belum dipublikasikan). Di sela obrolan hangat kami, beberapa kawan bilang ingin segera menyusul Rofi which means, kami juga ingin segera menikah dan punya momongan. Entah kenapa, hal itu belum begitu saya rasakan saat ini.

“Aku nggak jadi kepingin (menikah dalam waktu dekat)…” kata saya.

Well, beberapa bulan silam saya menuliskan resensi sebuah drama bertema newlywed life kan? Sepertinya saya terlalu menghayati tontonan sampai pernah ingin menikah juga di usia semuda ini (I am still 21 years old!). Kerap kali, that lonely feelings come and go.. tetapi saat ini, sepertinya saya benar-benar berubah pikiran. Saya merasa belum siap menikah, jadi saya belum ingin. Entah bagaimana, saya baru menyadari bahwa belum banyak hal yang saya lakukan untuk orang tua saya.
Orang tua saya menikah di usia yang terbilang cukup muda. Dan 4 tahun silam belum genap 50 tahun usia mereka, ketiga anaknya sudah tidak lagi tinggal di rumah sehingga hanya sisa Bapak dan Ibu saya saja. Awalnya, saya pikir ini hal yang biasa toh keduanya tidak pernah menghalangi kami untuk kuliah jauh dari rumah. Di usia ke-16 saya pergi meninggalkan rumah dan memutuskan untuk kuliah di Bogor sampai sekarang. Kakak-kakak saya pun demikian. Meskipun tidak sampai sejauh Bogor-Solo, kakak saya yang ke-2 malah sudah tidak tinggal di rumah sejak SMA.
Di satu sisi, akan menjadi pembelajaran berharga bagi anak ketika merantau dari rumah. Anak akan lebih mandiri, tidak manja, punya survival rate yang tinggi, dan berbagai hal positif lainnya. Saya pun merasakan hal serupa saat setahun pertama jauh dari rumah dan tinggal di asrama. Ketika kawan-kawan yang lain begitu sering ditelpon dan dikunjungi orangtua mereka, saya tidak. Saya merasa canggung ketika membicarakan hal-hal tidak penting via telepon dengan orang tua (terutama bapak).

Saya dekat dengan Ibu, tetapi dulu ketika belum ada whatsapp dan LINE, saya juga tidak sering berbalas pesan singkat dengannya. Sepertinya saya terlalu menikmati kehidupan saya bersama kawan-kawan saya di kampus. Sampai pada masa, ketika Bapak saya sering masuk rumah sakit karena sakit darah tingginya yang sering kambuh. Saya merasa ada yang salah dengan kebiasaan saya dalam hal komunikasi dengan orang tua.

Sekitar 2 bulan yang lalu, Bapak jatuh sakit dan dinyatakan menderita stroke untuk pertama kalinya. Bagi saya, ini merupakan sakit terberat yang beliau alami karena sebelumnya meski tensi Bapak pernah mencapai 260 tetapi tidak pernah sakit separah ini. Semuanya terasa tiba-tiba.. Bapak tidak bisa menggerakkan setengah badannya, tidak bisa berjalan, tidak bisa menggerakkan jari tangan kanannya, bahkan sempat sampai tidak jelas bicaranya.
Hal ini mungkin jadi salah satu ujian terberat bagi keluarga kami, mengingat Bapak adalah satu-satunya lelaki di keluarga inti kami dan merupakan tulang punggung keluarga. Di usia Bapak yang ke-52, Bapak yang semangat dan etos kerjanya masih sangat tinggi, harus terbaring di kasur seharian tanpa bisa melakukan hal yang berarti. Begitu pula bagi Ibu. Ibu adalah sosok guru ngaji/ustadzah sekaligus murid sekolah bahasa arab dengan jam terbang paling tinggi dibandingkan sesamanya. Karena kondisi Bapak yang mendadak lumpuh, Ibu juga harus rela untuk libur sejenak dari segala kesibukannya.

Banyak hal yang berubah dalam keluarga kami. Terutama hal-hal yang berkaitan dengan kebiasaan hidup. Ada saat dimana Bapak bosan dan berkata kalau beliau bukan sosok yang berguna lagi bagi isteri dan anaknya. Di sisi lain, Ibu sebagai satu-satunya sosok yang merawat Bapak, kehilangan kesabarannya karena sifat Bapak yang cenderung nekat dan sembrono dalam masa pemulihannya. Saya dan kakak-kakak menjadi sasaran utama Bapak dan Ibu ketika situasi di rumah sedang tidak kondusif, jadi kami memutuskan untuk sering-sering pulang ke rumah secara bergilir hanya untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.

Secara pribadi, hal paling berbeda yang saya rasakan adalah timbulnya rasa emosional dalam diri saya (dalam arti positif). Perasaan saya semakin mudah tersentuh, saya jadi cengeng, sering menangis, dan menyesali banyak hal yang tidak bisa saya lakukan buat orang tua saya di rumah. Dari dulu, saya orang yang cenderung overthinking, tetapi hanya mentok di pikiran saja. Sebagai seorang introvert, saya masih pandai menyembunyikan perasaan dan berpura-pura kalau keadaan saya baik-baik saja.
Pagi ini, grup whatsapp kami bertiga (saya dan kakak-kakak) mendapat pesan terusan dari Ibu berisi laporan bahwa Bapak (yang sudah mulai masuk kerja) berangkat tanpa semangat setelah melakukan kesalahan saat mengirim berita. Ya, Bapak saya seorang wartawan, yang mana dalam bekerja akan sangat membutuhkan keterampilan tangan dalam menulis. Permasalahannya, jari tangan kanan Bapak masih belum bisa 100% berfungsi seperti sedia kala. Jadi saya hanya bisa berharap pihak kantor bisa memaklumi kondisi Bapak saat ini. Minggu lalu, Ibu saya juga lapor via grup whatsapp kalau Bapak menangis. Sepertinya Bapak lelah dan kesal karena belum bisa mengemudikan motor dan mengantarkan Ibu mengajar ngaji seperti dahulu. Bapak bilang, “kasihan Ibu sekarang sering naik gojek padahal lagi musim hujan”. Bapak saya so sweet, kan? 

Belakangan ini, frekuensi ‘Ibu melapor’ semakin sering. Dalam benak saya, saya sedikit bisa memahami rasa kesepian kedua orang tua saya saat anak-anaknya sudah tidak lagi tinggal di rumah, sedangkan aktivitas kedua orang tua saya sudah tidak sesibuk sebelumnya. Tanpa mereka sadari mungkin mereka rindu ada orang-orang yang biasa diajak bicara, bercanda, dan berdiskusi di rumah seperti sebelum kami bertiga merantau. Untungnya, saya bersyukur akan kemajuan teknologi yang kini bisa memudahkan kami dalam berkomunikasi meski tanpa tatap muka. Saya dan kakak-kakak semakin sering menelpon rumah dan menanyakan hal-hal umum yang kadang terkesan tidak penting. Malah, tak jarang Bapak yang justru jadi kesal karena keseringan ditelpon, lalu memutus sambungan tak lama setelah telepon bersambut.
Oh ya. Saya jadi ingat, pernah punya mimpi membelikan mobil untuk bapak pakai uang patungan kami bertiga. Saya ingat saya masih punya hutang mengajak Ibu jalan-jalan ke Carita dan Pulau Seribu, saat kali pertama saya menginjakkan kaki di sana. Saya ingat, saya punya janji sama Ibu buat jadi salah 1 dari sedikit orang yang namanya dipanggil saat prosesi wisuda berlangsung (sebagai wisudawan terbaik). Saya juga masih ingat, punya keinginan berlibur ke Wina, Austria bersama kedua orang tua dan kakak saya.. sesaat setelah kami menonton film Sound of Music di rumah. Saya juga masih ingat, dan masih terus berdoa supaya suatu hari nanti kami diberi kesempatan untuk pergi ke tanah suci bersama. Mudah-mudahan, Allah beri kami berlima umur panjang dan rizki yang melimpah untuk bisa mewujudkan mimpi-mimpi saya tersebut.

Terakhir, kembali ke topik awal… mungkin tulisan ini menjadi jawaban atas pertanyaan Rofiul saat dia bertanya pada saya “Kenapa nggak jadi pengin nikah cepet, Ul?”
Karena masih banyak yang harus saya lakukan sebagai anak dari orang tua saya. Masih sangat sedikit hal yang bisa saya beri buat orang tua saya. Masih ingin lebih lama lagi saya habiskan waktu saya dengan orang tua saya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar