Tentang PACARAN
Beberapa minggu terakhir aku disibukkan dengan agenda kampanye salah satu teman yang mencalonkan diri menjadi ketua bem fakultas. Dia memintaku menjadi salah satu ‘tim sukses’ yang nantinya akan berusaha sebisa mungkin mencari dukungan ke sana-sini, mengerahkan banyak massa untuk ikut pemilihan raya wilayah yang sebentar lagi akan digelar.
Anggota tim sukses tersebut cukup banyak, salah satunya sebut saja Bayu (oke, nama samaran). Setelah beberapa minggu bekerja sama, akhirnya kemarin kami sampai pada puncak kampanye yaitu ketika diadakan karnaval, mengarak pasangan calon ketua-waketua bem ini keliling fakultas.
Selepas itu, di meja praktikum tepat setelah karnaval berakhir dan aku kembali ke dunia nyata (kuliah)..
“Aul, Bayu ikut Tim Sukses?” tanya Fani (nama samaran juga), yang baru-baru ini aku tahu kalau dia pacarnya Bayu.
“Iya.. Cie.. Kenapa, fan?” jawabku santai.
Eh, si Fani kok mendadak jadi galak. “Keluarin aja dia dari TS..” Dengan muka jutek, tanpa memandangku.
“Lho, kenapa?” Heran, dong. Aku kira si Fani ini bercanda, ternyata dia serius :O
“Aku nggak suka dia ikutan begituan, semua yang aku larang kalau dia langgar pasti dia bakal celaka. Lihat aja.” Jawabnya sinis.
“Heyyy.. Jangan lahhh...” Menurutku, Bayu bagus kok kinerjanya. Bayu aktif mempromosikan calon pasangan ketua bem yang kami usung. Dan kami juga sedang berusaha buat memenangkan calon pemimpin yang paling ideal dan terbaik buat fakultas. Apanya yang salah?
“Nggak, bilangin aja. Ingetin dia. Ini udah komitmen.” Tambah Fani
Aku pun merasa terpojokkan. Katanya sayang, kok mendoakan yang tidak baik?
Well, di sini aku awalnya mengira kalau Fani ini marah karena mungkin waktu yang Bayu punya jadi sedikit tersisa karena kegiatan kami sebagai tim sukses memang cukup padat. Namun seusai percakapan di atas dan praktikum pun berakhir, aku lihat Fani buru-buru pulang dengan mata sedikit sembap dan hidung merah akibat menahan tangis. Selama praktikum berlangsung pun dia bersikap cuek dan cenderung diam, beda dengan biasanya.
Duh.. ada yang janggal, nih. Batinku sampai akhirnya saat aku menulis tulisan ini, akhirnya aku bisa melihat dengan kacamata yang cukup jelas sebuah opini mengenai dua orang yang saling mengikatkan diri dengan status PACARAN.
Hmm.. bisa dilihat kan betapa orang yang ngakunya udah dewasa kemudian waktu mereka punya pacar akhirnya berubah menjadi sosok manja-kekanakan yang selalu ingin diperhatikan? Setiap saat, setiap waktu. Dimanapun dan kapanpun.
Sering kita temui cewe ngelarang cowo ngelakuin suatu hal hanya dengan alasan: nggak suka. Begitu juga sebaliknya. Apa-apaan ini??
Kita udah sama-sama dewasa, teman! Harusnnya kita lihat dulu dari sisi positif dan negatifnya. Misal nih yaa..
Ce: Aku nggak suka kamu main bola terus.
Co: Kenapa?
Ce: Karena kamu jadi suka ninggalin liqo dan lebih milih buat main bola..
Begini nih yang bener. Ada alasan kenapa kita melarang hal ini itu pada pasangan, dan alasannya logis. Nggak alay. Semua dilihat dari efek samping atau dampak dari larangan-larangan itu.
Saling mengerti lah, satu sama lain. Katanya soulmate? Kok egois? Maunya dipahami tanpa memahami orang lain, pasangan sendiri pula. Komitmen? speak aja doloooo~
Ini nih salahnya pemuda-pemudi Indonesia pada pacaran. Udah dewasa sih, tapi salah mengartikan banyak hal terkait ikatan semacam ini. Beda kalau orang langsung nikah, komitmennya real bro! Nggak tanggung-tanggung satu sama lain saling menekan ego masing-masing buat ngalah dan memertahankan hubungan. Saling memahami satu sama lain supaya ikatannya long last. Berusaha menjadi sosok yang pantas untuk pasangannya, yang mengerti pasangannya, yang mandiri dan nggak manja atau egois.
Contoh aja nih, kita (cewe) jadi terbiasa kan buat pergi dan pulang kuliah tanpa harus antar-jemput pacar? Emangnya pacar tukang ojek??
Lain hal nya kalau udah nikah, beda lagi sob! Kalau udah nikah mah serius, istri itu tanggungan suami. Jadi emang wajib dijemput..
Atau sebaliknya, cowo sekarang jadi termotivasi buat bisa masak kan, nggak harus nunggu dianterin makan sama pacar? Emang pacarnya bibi dapur??
Lain hal nya pula kalau udah nikah, perut suami pun jadi tanggungan istri.
Tapi keduanya jadi lebih mandiri kan, kalau suatu hari misalnya salah satu dari mereka ada yang sakit/pergi/*naudzubillah* meninggal? Ya kan??
Sebagai jomblo mulia, kita jadi punya banyak waktu untuk memantaskan diri buat calon pasangan, buat mengerti hakikat makhluk sosial yakni saling memahami dan dipahami oranglain, buat mandiri, buat melihat suatu hal dari segala sisi baik maupun buruk, buat fokus belajar demi meraih cita-cita dunia+akhirat kita, dan lain-lain. Itulah kenapa kita sewaktu masih muda kaya gini (dan masih punya kwajiban buat sekolah tentunya) sebaiknya NGGAK PACARAN dulu. Selain karena dilarang sama agama, ternyata NGGAK PACARAN lebih banyak hikmahnya ya toh?
Buat yang masih pacaran, #UdahPutusinAja! Hehehe
Coba luruskan niat. Belajarmu sekarang ini, ibadahmu kali ini, usahamu saat ini, semua karena kamu ingin jadi anak yang berbakti, ingin jadi hambaNya yang terbaik, ingin jadi istri yang solehah, yang sukses di dunia maupun akhirat. Hidup ini bukan untuk main-main dengan pacar yang bisa kapan aja putus-nyambung, alright??
Oke, sekian aja sharing dariku malem ini. Di sini aku nggak pengen ngerasa sok suci atau gimana, kita sama-sama belajar aja dan semoga bermanfaat, semoga bisa membuka pikiran teman-teman sekalian. Thankyou, pals!!! ^^
Aulia, yang masih tetap percaya bahwa takdir cewe adalah berada di belakang boncengan suaminya. #ups
Aku tahu siapa dia :D Sindiran yang lumayanlaah, hehe
BalasHapusWah.. dibaca sama Nana :D
BalasHapussama sekali nggak bermaksud menyindir siapapun kok na..
belajar masak sek thull... :D
BalasHapus